BAB I
DESKRIPSI KASUS
Berdasarkan
pemberitaan di media Detik News (online) yang di posting pada bulan Maret 2012,
mengenai kasus Euthanasia aktif yang akan dilakukan kepada Agian Isnanauli (33) atas
permintaan suaminya. Dalam kasus ini, Ny Agian yang sudah tidak sadarkan diri
dari sakit yang dideritanya pasca melahirkan selama berbulan-bulan membuat
suaminya (Hassan Kusuma) memutuskan untuk melakukan tindakan Euthanasia kepada
istrinya. Hal yang melatar belakanginya bukan hanya keadaan Ny Agian nampak
sudah tak dapat ditolong lagi dan tidak dapat hidup normal kembali, melainkan
keadaan ekonomi yang tidak memadai pula yang membuat Hassan Kusuma memutuskan
untuk mengajukan permohonan Euthanasia untuk istrinya ke DPR RI, walaupun ini
tentunya ditolak karena tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam kasus ini,
RSCM dimana Ny.Agina menjalani perawatan menolak untuk melakukan Euthanasia
karena secara kedokteran tidak bisa dikatakan koma meskipun dia tidak bisa
melakukan kontak. Dokter menyatakan bahwa Ny.Agian mengalami gangguan kompilasi
dan digolongkan sebagai stroke, sehingga tidak ada alasan untuk melakukan
Euthanasia. Selain itu dalam hukum yang tertuang di Peraturan Perundang-Undangan
yang diterapkan di Indonesia, Euthanasia tidak dapat dibenarkan. Menurut
pendapat dari dr. Marius Widjajarta bahwa jika kasus Euthanasia hanya dilatar
belakangi karena keadaan ekonomi yang tidak memadai, pemerintah dianjurkan
untuk menanggung seluruh biaya perawatan agar kasus seperti ini tidak terjadi
lagi. Selain itu, polemik tentang Euthanasia ini pun harus dibahas lebih lanjut
lagi oleh para ahli yang berkepentingan, seperti pemerintah, profesor ahli,
hukum dan agama agar Euthanasia diatur lagi sesuai peraturan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1.
Pengertian
Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti
indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos
yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai
mati dengan baik atau mati dengan tenang. Jadi sebenarnya secara harfiah,
euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya
menghilangkan nyawa seseorang. Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati
dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang
berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa
derita”. Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa
sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan
pertolongan dokter.
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seseorang secara tidak
menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk
meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Euthanasia sering disebut : mercy killing (mati dengan tenang).
Euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga
dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan
pasien (bila pasien sudah tidak sadar).
Bila
ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.
·
Eutanasia agresif, disebut
juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter
atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang
pasien.
Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa
yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh
senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
·
Eutanasia non agresif,
kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan
sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana
seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan
medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil"
(pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu
praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
·
Eutanasia pasif dapat juga
dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan
alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien.
Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang
dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah
dengan tidak memberikan bantuan oksigen
bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika
kepada penderita pneumonia
berat, meniadakan tindakan operasi
yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian
obat penghilang rasa sakit seperti morfin
yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif
seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan
eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang
menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena
ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus
keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada
permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang
paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara
alamiah sebagai upaya defensif medis.
1.2.
Konsep Kematian
Untuk dapat memahami lebih jauh timbulnya
masalah euthanasia, kita perlu memahami tentang konsep mati yang dianut dari
dulu hingga sekarang. Perubahan pengertian ini berkaitan dengan adanya
alat-alat resusitasi, berbagai alat atau mesin-mesin penopang hidup dan
kemajuan dalam perawatan intensive. Dahulu, apabila jantung dan paru-paru sudah
tidak bekerja lagi, orang tersebut sudah dinyatakan mati dan tidak perlu
diberikan pertolongan lagi. Kini keadaan sudah berubah, jantung yang sudah
berhenti dapat dipacu untuk bekerja kembali dan paru-paru dapat dipompa agar
kembali kembang kempis. Pada umumnya dikenal beberapa konsep tentang mati :
- Mati sebagai
berhentinya darah mengalir. Dalam PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa
mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru. Tetapi dalam
pengalaman kedokteran teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan
paru-paru yang semula terhenti adakalanya dapat dipulihkan kembali.
Sehingga dilihat dari perkembangan teknologi kedokteran, kriteria mati ini
sebenarnya sudah ketinggalan zaman.
- Mati sebagai
saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Pada umumnya banyak yang beranggapan
bahwa nyawa terlepas dari tubuh ketika darah berhenti mengalir. Tetapi
dikaitkan dengan perkembangan teknologi yang telah dikemukakan diatas,
maka konsep ini tidak tepat lagi.
- Hilangnya
kemampuan tubuh secara permanen (irreversible loss of ability). Dalam
pengertian ini fungsi organ-organ tubuh yang semula bekerja secara terpadu
kini berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali otak karena telah rusak.
- Hilangnya
kemampuan manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan
interaksi sosial.
Konsep ini dikembangkan dari konsep ke-3 tetapi dengan penekanan
nilai moral yaitu dengan memperhatikan fungsi manusia sebagai mahluk sosial.
Konsep ini tidak lagi melihat apakah organ-organ tubuh yang lain masih
berfungsi atau tidak, tetapi apakah otaknya masih mampu atau tidak menjalankan
fungsi pengendalian, secara jasmani maupun sosial, atau tidak.
Berdasarkan cara
terjadinya, kematian dibagi dalam tiga jenis yaitu:
- Orthothanasia,
yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
- Dysthanasia,
yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
- Euthanasia,
yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan dan tidak dengan
pertolongan dokter.
BAB III
PEMBAHASAN
Setiap
manusia memiliki beberapa hak dasar yang dimilikinya termasuk hak untuk
menentukan hidupnya. Pada sebagian besar kasus euthanasia, permintaan bunuh
diri datang dari diri pasien itu sendiri. Alasan mereka (pasien) pun sangat bervariasi.
Walaupun demikian, seorang ahli kesehatan tidak berhak untuk membantu pasien
melakukan euthanasia atau bunuh diri. Bantuan tersebut secara implisit dapat
juga dikatakan sebagai tindakan pembunuhan berencana terhadap seseorang.
Kemajuan teknologi yang mendukung kehidupan memunculkan isu-isu mengenai
kualitas hidup. Terdapat pilihan dimana seseorang harus dipertahankan hidupnya
dalam keadaan putus asa dan tidak layak ataukah penyembuhan secara optimal yang
didukung dengan pendanaan yang sesuai. Kecenderungan saat ini adalah menerima
pelaksanaan euthanasia pasif dalam kasus pasien yang sudah tak tertolong lagi.
Begitu juga dalam kasus yang diangkat disini, Ny.Agian selaku pasien yang
hampir saja diakhiri hidupnya dan menjemput kematian dengan euthanasia menjadi
salah satu bukti nyata. Argumentasi yang mengatakan bahwa ada persamaan antara
praktek ini dengan pembunuhan , saat ini jarang terdengar lagi. Namun para ahli
sebelumnya setuju dengan batasan dan mekanisme pengambilan keputusan perawatan
yang seharusnya diwujudkan.
Disini juga seharusnya pemerintah ikut andil dalam tanggung jawabnya atas
Undang-Undang yang telah dibuat mengenai pelarangan Euthanasia, ketika seorang
keluarga yang mengajukan melakukan Euthanasia kepada anggota keluarga lainnya
yang sedang sakit parah dengan latar belakang keadaan ekonomi yang tidak
memadai, maka dari itu pihak keluarga melakukan Euthanasia pasif. Seharusnya
pemerintah dapat membuat suatu keputusan untuk menanggung seluruh biaya
perawatan bagi keluarga yang tidak mampu lagi untuk membayar biaya RS, agar hal
yang sekarang sudah dianggap biasa dalam masyarakat tentang euthanasia pasif
tidak terjadi lagi.
Kematian merupakan pilihan setiap manusia, namun dalam kenyataannya
kematian sudah diatur oleh yang menciptakan. Presepsi kematian cukup bervariasi
dan masing-masing merefleksikan nilai filosofi. Dalam kasus ini, kematian yang
akan dihadapi ialah kematian dikarenakan sudah tidak ada harapan untuk hidup
normal lagi. Pihak keluarga disini yang merupakan suami dari pasien sudah
memprediksi bahwa istrinya tidak akan bisa diselamtkan untuk hidup normal lagi.
Ia merasa bahwa istrinya sudah tidak dapat lagi untuk menanggung penyakit yang dideritanya dan
lebih baik jika istrinya terbebas dari penderitaan yang dideritanya selama koma
berbulan-bulan ini.
Jika kita lihat disini, penyebab kematian yang akan dihadapi oleh Ny. Agian
adalah dikarenakan penyakit, dalam Santrock (2002) mengenai perbandingan jumlah
kematian dilihat dari klasifikasi perkembangannya, dibandingkan anak-anak,
kematian di masa remaja lebih banyak dikarenakan bunuh diri, kecelakaan sepeda
motor, dan pembunuhan. Sedangkan orang dewasa lebih sering mati karena penyakit
kronis, seperti sakit jantung dan kanker. Orang-orang dewasa muda yang sekarat,
sering merasa tertipu dibandingkan mereka yang berusia lebih tua (Kalish,
1987). Orang dewasa yang lebih muda sering merasa tidak diberi kesempatan untuk
melakukan apa yang mereka inginkan dalam hidup. Mereka merasa kehilangan apa
yang seharusnya mereka capai, sedangkan sebaliknya orang dewasa lanjut merasa
mereka kehilangan apa yang telah mereka miliki (Cavanaugh, 1990).
Tidak ada bukti yang menunjukan di masa dewasa awal dikembangkan suatu
pemahaman atau orientasi khusus tentang kematian. Peningkatana kesadaran akan
kematian akan muncul seiring bertambahnya umur menuju lanjut usia, yang
biasanya meningkat pada masa dewasa tengah. Dalam kasus ini dimana Ny.Agian ada
dalam tahap dewasa tengah, kita dapat mengindikasikan usia paruh baya seperti
Ny.Agian merupakat saat dimana seseorang mulai berfikir lebih jauh mengenai
berapa banyak waktu yang tersisa dalam hidup mereka untuk mereka nikmati.
Para peneliti menemukan bahwa mereka yang berusia dewasa tengah sebenarnya
lebih takut menghadapi kematian dibandingkan mereka yang berusia dewasa awal
maupun dewasa akhir (Kalish&Reynolds, 1967). Seperti dalam posisi Ny.Agian
saat itu, sesuai dengan pendapat Kalish, Ia mengalami ketakutan akan menghadapi
kematiannya. Terlebih lagi jika saat sekarat keadaan Ny.Agian ada dalam keadaan
sadar, ketakutan itu akan meningkat mengingat kondisinya yang sudah sangat
parah dan harapan kecil untuk hidup normal kembali seperti orang biasa.
Beberapa individu berjuang hingga akhir, mencoba mati-matian untuk tetap
berpegang pada hidup mereka. Mereka tidak pernah menerima datangnya kematian
tersebut. Beberapa psikolog percaya bahwa semakin kuat individu bertahan untuk
menolak kematian yang sesungguhnya tidak dapat dielakkan, dan semakinbesar
penolakkan mereka, maka akan semakin sulit bagi mereka untuk mati dalam keadaan
damai atau layak; pasikolog lainnya berpendapat bahwa tidak melawan kematian
sampai akhir mungkin adaptif bagi beberapa orang (Kalish, 1988; Lifton, 1977);
Shneidman, 1973). Di kesempatan lain, sejumlah emosi mungkin bertambah dan
berkurang. Harapan, ketidakpercayaan, rasa bingung, marah dan rasa penerimaan
mungkin datang dan pergi silih berganti di saat individu mencoba menyadari apa
yang sedang terjadi pada diri mereka.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rachels, James. (1986). The End of
Life: Euthanasia and Morality. New York: Oxford University Press
2. Santrock. J. W. (2002). Life-Span
Development: Perkembangan Masa Hidup.(edisi kelima) Jakarta: Erlangga