Friday, June 24, 2016

MAKALAH EUTHANASIA

BAB I
DESKRIPSI KASUS

Berdasarkan pemberitaan di media Detik News (online) yang di posting pada bulan Maret 2012, mengenai kasus Euthanasia aktif yang akan dilakukan kepada Agian Isnanauli (33) atas permintaan suaminya. Dalam kasus ini, Ny Agian yang sudah tidak sadarkan diri dari sakit yang dideritanya pasca melahirkan selama berbulan-bulan membuat suaminya (Hassan Kusuma) memutuskan untuk melakukan tindakan Euthanasia kepada istrinya. Hal yang melatar belakanginya bukan hanya keadaan Ny Agian nampak sudah tak dapat ditolong lagi dan tidak dapat hidup normal kembali, melainkan keadaan ekonomi yang tidak memadai pula yang membuat Hassan Kusuma memutuskan untuk mengajukan permohonan Euthanasia untuk istrinya ke DPR RI, walaupun ini tentunya ditolak karena tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam kasus ini, RSCM dimana Ny.Agina menjalani perawatan menolak untuk melakukan Euthanasia karena secara kedokteran tidak bisa dikatakan koma meskipun dia tidak bisa melakukan kontak. Dokter menyatakan bahwa Ny.Agian mengalami gangguan kompilasi dan digolongkan sebagai stroke, sehingga tidak ada alasan untuk melakukan Euthanasia. Selain itu dalam hukum yang tertuang di Peraturan Perundang-Undangan yang diterapkan di Indonesia, Euthanasia tidak dapat dibenarkan. Menurut pendapat dari dr. Marius Widjajarta bahwa jika kasus Euthanasia hanya dilatar belakangi karena keadaan ekonomi yang tidak memadai, pemerintah dianjurkan untuk menanggung seluruh biaya perawatan agar kasus seperti ini tidak terjadi lagi. Selain itu, polemik tentang Euthanasia ini pun harus dibahas lebih lanjut lagi oleh para ahli yang berkepentingan, seperti pemerintah, profesor ahli, hukum dan agama agar Euthanasia diatur lagi sesuai peraturan.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1.        Pengertian Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik atau mati dengan tenang. Jadi sebenarnya secara harfiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”. Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seseorang secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Euthanasia sering disebut : mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar).
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.
·         Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
·         Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
·         Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.


Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.

1.2.        Konsep Kematian
Untuk dapat memahami lebih jauh timbulnya masalah euthanasia, kita perlu memahami tentang konsep mati yang dianut dari dulu hingga sekarang. Perubahan pengertian ini berkaitan dengan adanya alat-alat resusitasi, berbagai alat atau mesin-mesin penopang hidup dan kemajuan dalam perawatan intensive. Dahulu, apabila jantung dan paru-paru sudah tidak bekerja lagi, orang tersebut sudah dinyatakan mati dan tidak perlu diberikan pertolongan lagi. Kini keadaan sudah berubah, jantung yang sudah berhenti dapat dipacu untuk bekerja kembali dan paru-paru dapat dipompa agar kembali kembang kempis. Pada umumnya dikenal beberapa konsep tentang mati :
  1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir. Dalam PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru. Tetapi dalam pengalaman kedokteran teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semula terhenti adakalanya dapat dipulihkan kembali. Sehingga dilihat dari perkembangan teknologi kedokteran, kriteria mati ini sebenarnya sudah ketinggalan zaman.
  2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Pada umumnya banyak yang beranggapan bahwa nyawa terlepas dari tubuh ketika darah berhenti mengalir. Tetapi dikaitkan dengan perkembangan teknologi yang telah dikemukakan diatas, maka konsep ini tidak tepat lagi.
  3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen (irreversible loss of ability). Dalam pengertian ini fungsi organ-organ tubuh yang semula bekerja secara terpadu kini berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali otak karena telah rusak.
  4. Hilangnya kemampuan manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi sosial.
Konsep ini dikembangkan dari konsep ke-3 tetapi dengan penekanan nilai moral yaitu dengan memperhatikan fungsi manusia sebagai mahluk sosial. Konsep ini tidak lagi melihat apakah organ-organ tubuh yang lain masih berfungsi atau tidak, tetapi apakah otaknya masih mampu atau tidak menjalankan fungsi pengendalian, secara jasmani maupun sosial, atau tidak.
Berdasarkan cara terjadinya, kematian dibagi dalam tiga jenis yaitu:
  1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
  2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
  1. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan dan tidak dengan pertolongan dokter.



BAB III
PEMBAHASAN
Setiap manusia memiliki beberapa hak dasar yang dimilikinya termasuk hak untuk menentukan hidupnya. Pada sebagian besar kasus euthanasia, permintaan bunuh diri datang dari diri pasien itu sendiri. Alasan mereka (pasien) pun sangat bervariasi. Walaupun demikian, seorang ahli kesehatan tidak berhak untuk membantu pasien melakukan euthanasia atau bunuh diri. Bantuan tersebut secara implisit dapat juga dikatakan sebagai tindakan pembunuhan berencana terhadap seseorang.
Kemajuan teknologi yang mendukung kehidupan memunculkan isu-isu mengenai kualitas hidup. Terdapat pilihan dimana seseorang harus dipertahankan hidupnya dalam keadaan putus asa dan tidak layak ataukah penyembuhan secara optimal yang didukung dengan pendanaan yang sesuai. Kecenderungan saat ini adalah menerima pelaksanaan euthanasia pasif dalam kasus pasien yang sudah tak tertolong lagi. Begitu juga dalam kasus yang diangkat disini, Ny.Agian selaku pasien yang hampir saja diakhiri hidupnya dan menjemput kematian dengan euthanasia menjadi salah satu bukti nyata. Argumentasi yang mengatakan bahwa ada persamaan antara praktek ini dengan pembunuhan , saat ini jarang terdengar lagi. Namun para ahli sebelumnya setuju dengan batasan dan mekanisme pengambilan keputusan perawatan yang seharusnya diwujudkan.
Disini juga seharusnya pemerintah ikut andil dalam tanggung jawabnya atas Undang-Undang yang telah dibuat mengenai pelarangan Euthanasia, ketika seorang keluarga yang mengajukan melakukan Euthanasia kepada anggota keluarga lainnya yang sedang sakit parah dengan latar belakang keadaan ekonomi yang tidak memadai, maka dari itu pihak keluarga melakukan Euthanasia pasif. Seharusnya pemerintah dapat membuat suatu keputusan untuk menanggung seluruh biaya perawatan bagi keluarga yang tidak mampu lagi untuk membayar biaya RS, agar hal yang sekarang sudah dianggap biasa dalam masyarakat tentang euthanasia pasif tidak terjadi lagi.
Kematian merupakan pilihan setiap manusia, namun dalam kenyataannya kematian sudah diatur oleh yang menciptakan. Presepsi kematian cukup bervariasi dan masing-masing merefleksikan nilai filosofi. Dalam kasus ini, kematian yang akan dihadapi ialah kematian dikarenakan sudah tidak ada harapan untuk hidup normal lagi. Pihak keluarga disini yang merupakan suami dari pasien sudah memprediksi bahwa istrinya tidak akan bisa diselamtkan untuk hidup normal lagi. Ia merasa bahwa istrinya sudah tidak dapat lagi untuk  menanggung penyakit yang dideritanya dan lebih baik jika istrinya terbebas dari penderitaan yang dideritanya selama koma berbulan-bulan ini.
Jika kita lihat disini, penyebab kematian yang akan dihadapi oleh Ny. Agian adalah dikarenakan penyakit, dalam Santrock (2002) mengenai perbandingan jumlah kematian dilihat dari klasifikasi perkembangannya, dibandingkan anak-anak, kematian di masa remaja lebih banyak dikarenakan bunuh diri, kecelakaan sepeda motor, dan pembunuhan. Sedangkan orang dewasa lebih sering mati karena penyakit kronis, seperti sakit jantung dan kanker. Orang-orang dewasa muda yang sekarat, sering merasa tertipu dibandingkan mereka yang berusia lebih tua (Kalish, 1987). Orang dewasa yang lebih muda sering merasa tidak diberi kesempatan untuk melakukan apa yang mereka inginkan dalam hidup. Mereka merasa kehilangan apa yang seharusnya mereka capai, sedangkan sebaliknya orang dewasa lanjut merasa mereka kehilangan apa yang telah mereka miliki (Cavanaugh, 1990).
Tidak ada bukti yang menunjukan di masa dewasa awal dikembangkan suatu pemahaman atau orientasi khusus tentang kematian. Peningkatana kesadaran akan kematian akan muncul seiring bertambahnya umur menuju lanjut usia, yang biasanya meningkat pada masa dewasa tengah. Dalam kasus ini dimana Ny.Agian ada dalam tahap dewasa tengah, kita dapat mengindikasikan usia paruh baya seperti Ny.Agian merupakat saat dimana seseorang mulai berfikir lebih jauh mengenai berapa banyak waktu yang tersisa dalam hidup mereka untuk mereka nikmati.
Para peneliti menemukan bahwa mereka yang berusia dewasa tengah sebenarnya lebih takut menghadapi kematian dibandingkan mereka yang berusia dewasa awal maupun dewasa akhir (Kalish&Reynolds, 1967). Seperti dalam posisi Ny.Agian saat itu, sesuai dengan pendapat Kalish, Ia mengalami ketakutan akan menghadapi kematiannya. Terlebih lagi jika saat sekarat keadaan Ny.Agian ada dalam keadaan sadar, ketakutan itu akan meningkat mengingat kondisinya yang sudah sangat parah dan harapan kecil untuk hidup normal kembali seperti orang biasa.
Beberapa individu berjuang hingga akhir, mencoba mati-matian untuk tetap berpegang pada hidup mereka. Mereka tidak pernah menerima datangnya kematian tersebut. Beberapa psikolog percaya bahwa semakin kuat individu bertahan untuk menolak kematian yang sesungguhnya tidak dapat dielakkan, dan semakinbesar penolakkan mereka, maka akan semakin sulit bagi mereka untuk mati dalam keadaan damai atau layak; pasikolog lainnya berpendapat bahwa tidak melawan kematian sampai akhir mungkin adaptif bagi beberapa orang (Kalish, 1988; Lifton, 1977); Shneidman, 1973). Di kesempatan lain, sejumlah emosi mungkin bertambah dan berkurang. Harapan, ketidakpercayaan, rasa bingung, marah dan rasa penerimaan mungkin datang dan pergi silih berganti di saat individu mencoba menyadari apa yang sedang terjadi pada diri mereka.





DAFTAR PUSTAKA
1.    Rachels, James. (1986). The End of Life: Euthanasia and Morality. New York: Oxford University Press
2.    Santrock. J. W. (2002). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup.(edisi kelima) Jakarta: Erlangga
3.    Detik News.(2012).Kasus Euthanasia.(online).Tersedia : http://etikakristeneuthanasia.blogspot.com/2012/03/contoh-euthanasia.html (7 Maret 2012)
4.    Hadita blogspot.(2012).Euthanasia.(online).Tersedia : http://hadita19.wordpress.com/2011/10/10/euthanasia/ (12 April 2012)


No comments:

Post a Comment